Garisjabar.com- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Mirah Midadan mengatakan potensi kerugian yang ditanggung oleh konsumen akibat tingginya harga bawang putih di pasar tradisional selama periode 2-14 Februari 2020 mencapai Rp 247 miliar saat ini.
Menurut, Mirah menyampaikan, kerugian ini muncul karena konsumen harus membayar bawang putih dengan harga yang lebih tinggi di pasar tradisonal. Padahal harga bawang putih di pasar modern masih tergolong stabil. Jika di pasar modern harganya di bawah Rp 40 ribu per kilogram, di pasar tradisional bisa lebih dari Rp 50 ribu per kilogram.
Menurutnya, asumsi perhitungan kerugian konsumen ini didasarkan pada konsumsi bawang putih harian yang mencapai sekitar 1,3 juta kilogram secara nasional. Sementara itu, rata-rata harga bawang putih normal di pasar tradisional selama Januari 2020 Rp 34.859 per kilogram.
“Per 1 Februari, rata-rata harga bawang putih di pasar tradisonal Rp 40.550 per kilogram, naik menjadi Rp 54.450 per kilogram. Sehingga total kerugian konsumen akibat kenaikan harga bawang putih di pasar tradisonal selama periode 2 Februari hingga 14 Februari 2020 sekitar Rp 247 miliar,” ujar Mirah Midadan, di acara seminar yang digelar Indef, di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Hal ini, fakta harga bawang putih di Jakarta yang justru lebih mahal dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia. Padahal seharusnya harga bawang putih di Jakarta lebih murah karena tidak dibebani biaya transportasi yang tinggi, khususnya untuk bawang putih impor.
“Harga bawang putih di Jakarta paling tinggi se-Indonesia. Bahkan harga bawang putih di Maluku dan Papua lebih rendah daripada Jakarta. Padahal kan impor bawang putih itu masuknya dari Jakarta melalui pelabuhan. Harusnya dari sisi biaya transportasi bisa menjadikan harga komoditas bawang putih di Jakarta lebih murah.
Namun itu, faktanya harga di Jakarta justru lebih tinggi. Apakah memang setinggi itu permintaannya? atau ada permainan yang sengaja menahan stok bawang putih untuk disebarkan,” ucapnya. (Rht)