Garisjabar.com- Kongres I Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP21) yang dibuka di Graha Vidia Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, Jum’at (14/2/2020) malam. Acara ini dihadiri para intansi terkait juga para tamu undangan. Sabtu (15/2/2020).
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Melalui aturan ini, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memiliki keleluasaan untuk mengakses informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak.
Undang-undang itu merupakan regulasi primer sebagai persiapan assessment Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) terkait implementasi automatic exchange of information atau AEoI.
Hestu mengatakan, akan meningkatkan dalam sisi perolehan data menggunakan sistem yang baik, yang mampu secara efisien mengolah data tersebut, sehingga dapat dimanfaatkan oleh DJP.
“Kami akan terus melakukan pendekatan persuasif dengan para wajib pajak, hal itu tentu akan mendorong mereka sadar akan wajib pajak,” kata dia.
Selain itu, substansi UU No.9 Tahun 2017 tersebut mencakup keterbukaan akses informasi ke lembaga jasa keuangan. Sejumlah regulasi kerahasiaan di lembaga jasa keuangan yang menjadi penghalang Direktorat Jenderal Pajak dianggap tidak berlaku selama terkait dengan perpajakan.
Menurutnya, Direktur P2 Humas Direktur Jendral Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama menyapaikan, jika big data sangat penting dalam meningkatan sistem perpajakan.
Persiapan sistem teknologi dan informasi sudah mencapai.
“Insa Allah akan tercapai, tetapi semakin hari semakin tau,” ujarnya.
Sambung Hestu, jika dalam perjalannya ditemukan wajib pajak tidak melaporkan pajak yang harus mereka keluarkan, dan juga akan mengklarifikasi untuk menanyakan persoalannya. Sehingga para wajib pajak segera melakukan apa yang telah menjadi kewajibannya.
“Ke depan tentunya ini big data ini menjadi instrumen yang sangat penting dalam sistem perpajakan,” ucapnya. (Rsd)