Garisjabar.com- Kritis sosial dari masyarakat kepada pemerintah daerah merupakan cerminan dari suara rakyat yang seringkali tidak diketahui oleh pemerintahan. Kamis (31/7/2025).
Tak hanya itu, dalam demokrasi yang sehat, dan kritik seharusnya menjadi vitamin bagi pemerintahan, bukan dianggap sebagai virus.
Belakangan ini, kita justru melihat kecenderungan kekuasaan yang makin alergi terhadap kritik.
Namun, pertanyaan yang patut diajukan itu sejak kapan kritik dianggap sebagai gangguan?
Retorika semacam ini muncul dari berbagai pejabat, elite politik, bahkan organisasi yang mengatasnamakan rakyat.
Hingga kritik dilabeli “toxic”, “tidak solutif”, bahkan “mengganggu stabilitas”. Lebih parah lagi, sebagian menganggap kritik sebagai bentuk “provokasi”, bukan ekspresi kekecewaan yang sah.
Dalam sistem demokrasi di Indonesia, kritik bukanlah gangguan, melainkan mekanisme kontrol. Ia adalah bentuk partisipasi rakyat ketika kanal formal tak lagi dipercaya.
Ketika keputusan pemerintah dianggap tidak adil, ketika kebijakan terasa timpang, suara publik baik di jalanan maupun di media sosial adalah alarm moral.
Apakah para penguasa lupa, bahwa tanpa kritik, kekuasaan akan tumbuh liar dan buta arah?
Lantas, mengapa saat ini kritik sering dipandang sebagai bentuk permusuhan? Mengapa ekspresi kekecewaan rakyat direspons dengan stigmatisasi, bahkan kriminalisasi?
Ada kesalahan berpikir yang terus direproduksi: bahwa siapa pun yang mengkritik berarti “tidak loyal”, “membenci negara”, atau “anti pemerintah”.
Padahal, kritik muncul karena kepedulian. Kritik adalah tanda cinta, bukan kebencian. Justru yang berbahaya adalah mereka yang membiarkan kesalahan terus terjadi demi menjaga posisi dan kenyamanan.
Dalam sejarah perubahan bangsa, suara kritis selalu menjadi pendorong utama. Reformasi 1998 tidak lahir dari puja-puji, tetapi dari keberanian rakyat mengoreksi arah kekuasaan.
Kini, ketika rakyat bersuara lewat media sosial atau aksi damai, mengapa justru dituduh membuat gaduh?
Tugas utama pemimpin bukanlah menuntut rakyat untuk diam dan patuh, melainkan mendengar, memahami, dan memperbaiki.
Kritik seharusnya menjadi cermin untuk melihat realitas di luar lingkar kekuasaan. Bila pemimpin hanya mau mendengar sanjungan, maka ia sedang menyiapkan jalan menuju otoritarianisme.
Mereka yang duduk di kursi kekuasaan harus sadar: kritik tidak akan berhenti hanya karena ditekan.
Ia akan terus tumbuh, justru ketika kebenaran diabaikan. Semakin keras rakyat bersuara, semakin besar kekecewaan yang selama ini dipendam.
Sejak kapan kritik dianggap gangguan? Sejak mereka yang memegang kekuasaan mulai lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa. Jika kritik dianggap ancaman, maka demokrasi sedang berada dalam bahaya.
Kita tidak butuh pemimpin yang anti-kritik. Kita butuh pemimpin yang tahan dikritik, mau berubah, dan mengingat siapa yang mereka wakili: rakyat.
Ungkapan tersebut bukan sekadar lelucon yang terlepas tanpa kendali, tetapi mencerminkan sikap yang lebih luas-yakni ketidaksediaan pemerintah untuk menerima kritik sebagai bagian dari pembenahan sistemik. (Rsd)