Pengamat Purwakarta Sebut Terget Retribusi PBG Rp 13,1 Miliar Terlalu Kecil

oleh -21 Dilihat

Garisjabar.com- Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) pemerintah sebagai upaya percepatan menggantikan nomenklatur Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sjak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2021 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, menjadi salah satu pos penting dalam laporan keuangan daerah.

Sementara, pada tahun anggaran 2025 Retribusi PBG Kabupaten Purwakarta dianggarkan sebesar Rp 13,1= miliar. Hingga akhir Juli 2025, berdasarkan data dari Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Purwakarta retribusi dari PBG sudah mencapai Rp 12,7 Miliar atau 97 % dari yang ditargetkan.

“Soal PBG Bapenda menerima data laporan realisasi, sementara leading sektornya ada di Dinas PUPR, dari catatan yang ada target PBG Rp 13,1 Milyar, realisasi saat ini sudah Rp 12,7 Milyar atau sekitar 96 %,” kata Kepala Bapenda Purwakarta, Aep Abduroham, Jumat (8/8/2025).

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Yasin, mengatakan geliat sektor properti di daerah Purwakarta ini tampak jelas. Banyaknya developer mengajukan izin pembangunan perumahan, baik skala kecil, menengah, maupun besar.

Secara logika sederhana, jika pengajuan perumahan meningkat, maka jumlah rumah yang dibangun juga akan banyak. Konsekuensinya, potensi penerimaan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) mestinya ikut naik signifikan.

Namun, yang muncul justru pertanyaan: mengapa target penerimaan PBG tahun berjalan hanya dipatok Rp 13,1 miliar.
Apakah angka ini benar-benar mencerminkan potensi riil di lapangan, atau justru terlalu rendah dan konservatif ?

“Bila menggunakan perhitungan sederhana, jumlah unit kali luas bangunan kali tarif PBG per m². Untuk mencapai target Rp 13,1 miliar dengan asumsi rumah berukuran 80 m² dan tarif Rp 20.000/m², dibutuhkan sekitar 8.200 unit rumah dalam satu tahun,” ujar Agus Yasin. Sabtu (9/8/2025).

Menurut Agus M Yasin, angka itu sangat besar, setara dengan proyek masif yang jarang terjadi. Kecuali ada kombinasi proyek komersial berskala besar, seperti ruko atau apartemen.

Kata Agus Yasin, di sinilah perlunya transparansi dari pemerintah daerah, publik berhak tahu berapa jumlah unit rumah yang sudah dan akan dibangun oleh developer yang mengajukan izin.

Lanjut Agus, berapa luas rata-rata bangunan dalam setiap permohonan, tarif PBG yang digunakan dalam perhitungan target, dan metode perhitungan resmi yang menjadi dasar penetapan target Rp 13,1 miliar.

“Jika data riil menunjukkan potensi penerimaan jauh di atas target, publik wajar curiga bahwa ada potensi kebocoran atau ketidaktepatan strategi penetapan target,” katanya.

Dikatakan Agus Yasin, PAD adalah uang rakyat, setiap rupiah yang hilang atau tidak tergarap adalah kerugian bagi pembangunan daerah dan pelayanan publik.

Selain itu, target PBG sebesar Rp 13,1 miliar patut diuji kewajarannya. Transparansi data dan metode perhitungan bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk pertanggungjawaban moral kepada masyarakat.

“Tanpa keterbukaan, angka Rp 13,1 miliar hanya akan menjadi target yang memicu tanda tanya, bukan kebanggaan kinerja,” ucap Agus Yasin. (Rsd)