Garisjabar.com- Sudah tiga pekan sejak audiensi antara DPRD kabupaten Purwakarta, pedagang korban kebakaran GS Pasar Jumaah dengan Pemerintah Kabupaten Purwakarta digelar.
Akan tetapi, hingga kini kembali situasi tak menentu dirasakan para pedagang korban kebakaran itu.
“Sudah tiga pekan berlalu dan kami belum dihubungi oleh pihak Pemda,” ujar Sesepuh yang juga perwakilan para pedagang saat menghubungi wartawan, Senin (3/11/2025).
Padahal, sambungnya, di akhir audiensi pihak DPRD sudah mewanti wanti Pj. Sekda yang mewakili bupati agar secepatnya, minimal satu pekan setelah audiensi, ada keputusan final terkait dana kerahiman.
“Pada audiensi tersebut kami menolak opsi di tahun 2026, karena ini sudah terabaikan terlalu lama. Hingga saat ini sudah mau memasuki delapan bulan,” katanya.
Sebagaimana diketahui pada audiensi lalu, paguyuban pedagang korban kebakaran GS Pasar Juma’ah didampingi Bela Purwakarta mendatangi rumah para wakil rakyat untuk memastikan keputusan final terkait nasib mereka.
Sementara itu, audiensi yang difasilitasi oleh Komisi II DPRD ini turut dihadiri langsung oleh unsur pimpinan, yaitu Wakil Ketua DPRD Luthfi Bamala.
Adapun jajaran Komisi II yang hadir di antaranya Dedi Juhari, Teddy Nandung Heryawan, Ceceng Abdul Qodir, Agus Wijaya dan Lina Yuliani.
Namun, dari pihak pemkab Purwakarta, bupati mewakilkan kepada Pj. Sekda, Nina Herlina
Audiensi berlangsung hangat manakala pedagang mengungkapkan kekecewaannya karena setelah tujuh bulan dalam penantian mendapatkan jawaban dari Pj. Sekda bahwa kerahiman akan dialokasikan pada 2026.
Adapun diperkirakan bisa terrealisasi di bulan Maret, artinya harus menunggu lima bulan ke depan.
“Kami sudah menanti selama tujuh bulan, maka akan genap satu tahun kami dalam penderitaan, sejak Maret 2025 dan harus menunggu lagi hingga Maret 2026. Tentu ini bukan solusi yang manusiawi,” kata Enung, salah satu pedagang.
Pedagang lain, Ratna, turut mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyebutkan bahwa Pj. Sekda beralasan hingga saat ini masih memverifikasi data pedagang.
“Kami tidak habis pikir kok selama itu untuk mendata hingga berbulan-bulan. Kami ini bukan pedagang fiktif dan kenapa juga hingga sekarang kami tidak juga dipanggil untuk diverifikasi agar sinkron dengan data yang dipunyai Pemda,” ujar Ratna.
“Kenapa harus memakan waktu tujuh bulan hanya untuk memverifikasi data pedagang, sangat di luar nalar sekali,” katanya menambahkan.
Selain itu, menyikapi jawaban dari pihak Pemda terkait rencana pemberian kerahiman di tahun 2026, Ali Akbar, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kabupaten Purwakarta yang juga hadir, turut berempati memberikan dukungannya terhadap nasib pedagang.
“Peristiwa kebakaran itu terjadi pada Maret. Jika ditangani serius dan fokus, sesungguhnya pemda punya kesempatan di bulan Juli untuk mengalokasikan dana kerahiman di APBD Perubahan 2025,” ungkap Ali.
Mestinya, kata dia, sudah bisa terrealisasikan, bahkan peristiwa kebakaran GS Pasar Jumaah lebih dulu terjadi dari pada peristiwa pembongkaran bangunan liar di tanah PJT II di Tegal Munjul.
“Pembongkaran bangunan liar dilakukan pada Juni lalu yang mana justru penanganan kerahimannya lebih cepat diselesaikan, di sini sudah jelas terlihat tidak adanya keadilan,” ujar Ali.
Atas fakta tersebut, Ali menyayangkan Pemda dengan “dingin”-nya memberikan opsi pengalokasian pada tahun 2026. Opsi tersebut, kata dia, sudah melewati batas kewajaran dan tidak berperikemanusiaan.
“Seharusnya malu dengan jargon Purwakarta Istimewa, lalu, di mana nilai Istimewa-nya jika tidak bisa menghasilkan solusi dengan langkah langkah Istimewa. CSR dari ratusan perusahaan yang beroperasi di Purwakarta bisa menjadi salah satu opsi solusi jika ada itikad baik untuk menyelesaikan di tahun 2025,” katanya.
Pihak DPRD pun turut memberikan opsi opsi cara penyelesaian agar kerahiman dapat dicairkan di tahun 2025, ada yang menyarankan agar Pemda menggunakan dana talangan juga usulan untuk mengoptimalkan penggunaan dana CSR.
Anggota Komisi II, Ceceng Abdul Qodir meyakinkan pihak Pemda bahwa dana CSR tidak hanya diperuntukan untuk membantu lingkungan di sekitar perusahaan. Sudah banyak contoh perusahaan yang menyalurkan CSR-nya bahkan ke luar wilayah kabupaten Purwakarta.
Ia menyebutkan bahwa PJT II yang berdomisili di Kabupaten Purwakarta pernah menyalurkan CSR ketika ada bencana di Kabupaten Bandung Barat.
Selanjutnya Ceceng menegaskan bahwa di Purwakarta terdapat 400 perusahaan/pabrik. Jika setiap perusahaan menyalurkan CSR-nya untuk membantu satu pedagang terdampak kebakaran yang berjumlah 200 ini maka hanya butuh 200 perusahaan.
“Cara ini lebih meringankan, kembali lagi ke Itikad Baik Pemda, mau tidak lebih kreatif dan inovatif,” ujarnya.
Sementara pedagang lainnya, Erwin, mempertanyakan kepedulian Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), notabene mantan Bupati Purwakarta dua periode, yang sama sekali belum menunjukan atensinya sejak peristiwa kebakaran.
“KDM yang kami kenal selalu gerak cepat dalam membantu kesulitan warga, namun kenapa dalam persoalan kebakaran Pasar Jumaah beliau tidak ada reaksi. Kami para korban sedari awal ingin dikunjungi KDM dan mendapat solusi. Padahal, Kami saksikan KDM masih sering berkunjung ke Purwakarta,” katanya.
Opsi lain diutarakan Aktivis Sosial Kemasyarakatan, Ali Novel Magad, yang menyarankan agar Pemkab menggunakan dana yang terkumpul dari gerakan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang telah di-launching oleh Bupati sejak 6 Oktober 2025 lalu.
“Jika diasumsikan 10 persen dari penduduk Purwakarta yang berjumlah 1 juta lebih, turut berdonasi dalam program “Poe Ibu”, maka mendekati kurun waktu satu bulan ini diperkirakan sudah mencapai miliaran rupiah jumlahnya,” ucap Ali.
Dengan demikian, lanjutnya, bisa menjadi opsi untuk dipergunakan membantu kerahiman pedagang pasjum korban kebakaran.
“Sekaligus ini sebagai pembuktian ke publik bahwa program “Poe Ibu” ini tepat guna dan solutif terhadap situasi darurat,” ujarnya.
Menyikapi hasil audiensi, Founder Bela Purwakarta, Aa Komara menegaskan apa yang menimpa para pedagang merupakan “tragedi kemanusiaan”.
Hingga pernyataannya itu menimbang ragam dampaknya akibat proses penanganan yang tak memiliki standar batas penyelesaian yang menimbulkan penderitaan batin berkepanjangan selain kerugian materil yang mencapai Rp7,3 miliar.
Para korban ini, kata Aa, praktis menjadi “kaum miskin baru” yang mana faktor penyebab kebakarannya pun hingga hampir delapan bulan ini belum diungkap secara pasti maupun secara resmi dirilis ke publik oleh pihak kepolisian maupun pemda.
“Untuk itu kami berikhtiar mencari solusi alternatif dengan meminta atensi dari semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat hingga kalangan praktisi hukum,” tandas Aa.
Aa mengungkapkan, para praktisi hukum berpendapat bahwa solusi dari persoalan ini kembali kepada itikad baik bupati.
“Jika ditemukan fakta bahwa peristiwa kebakaran tersebut ternyata akibat kelalaian pihak tertentu atau bahkan ada unsur kesengajaan, maka para pedagang atas kondisi tertentu berhak mengajukan class action untuk mendapatkan kompensasi bukan lagi dana kerahiman,” ucapnya. (Dni)

											