PURWAKARTA, garisjabar.com- Fakta yang menarik terkait persoalan Dana Bagi Hasil (DBH), yang terlihat sibuk malah orang-orang yang memiliki kewenangan mengatur pada masa dimana kemudian mencuatkan masalah (DBH) 2016-2017).
Sementara para kepala desa yang sejatinya menerima manfaat, terkesan diam tanpa ada keberanian mengungkap seharusnya DBH itu menjadi bagian yang “wajib” hukumnya diterima.
Menurut Ilham (47) warga masyarakat Purwakarta mengatakan, apa itu entah “takut”, ataukah karena menghadapi seseorang yang kerap di “Dewa”kan. Yang bungkam para kepala desa itu mengisyaratkan “keserba salahan” untuk menuntut sebagai hak, bisa juga ada sesuatu yang membanduli pikirannya. Senin (05/12/2022).
Selain itu, sikap yang tidak lazim mengingat jika persoalan temuan dan dugaan penyimpangan kebijakan pada saat itu berlanjut pada ranah hukum.
Maka para kepala desa pun akan turut direpotkan dengan kesaksiannya, bahkan bukan mustahil akan terjerat juga apabila “kesaksiannya” direkayasa dan mengandung kebohongan.
Kata Ilham (47) perlu diingat, Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu. Namun itu, untuk menenuhi kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Sementara itu, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) dilakukan berdasarkan prinsif “by iriginal”, sementara penyalurannya dilakujan berdasarkan “based on actual revenue”. Maksudnya adalah, penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan. Sebagaimana diatur dalam UU RI No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Desa dan Pemerintahan Daerah.
Sesuai ketentuan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) bersifat “Current Budget”, dan itu jelas karena ada ayat dan pasal yang menegaskan penyalurannya per triwulan.
Persoalan ini, tentunya para Kepala Desa harus mengetahui agar tidak terjadi pengelabuan dan terbutakan mengenai aturannya. Soal Pemerintah Daerah menentukan bagaimana realisasi penyaluran ke desa-desa, itu menjadi kewenangannya. Sehingga, yang terpenting sifat dan prinsif mengenai pembagian serta penyalurannya dijalankan.
Hal ini, jadi terkait DBH hingga timbul bahasa “Pemda hutang ke desa-desa” dengan nilai fantastik. Dan itu terkuak setelah munculnya statement Bupati pada saat acara Gempungan di Buruan Lembur belum lama ini, dimana semakin menjadi viral dan opini liar.
Sebenarnya, jika dicermati tidak ada alasan lain. Bahwa terjadinya hutang DBH ke desa-desa untuk penyaluran tahun anggaran 2016-2017, bukti dan patut diduga ada suatu penyimpangan tata kelola keuangan yang sudah tentu disebabkan adanya penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh para pemilik kewenangan saat itu.
Permasalahannya secara logika tidak terbantahkan, seharusnya APH bukan sambil senyum senyum kecil. Ini persoalan serius, dan DBH itu bersumber dari APBN.
Terhadap kesan agak diamnya APH harus diinformasikan ke masing-masing pusat, ada apa sebenarnya ?
Dan terhadap bungkamnya para kepala desa perlu juga dipertanyakan, ada apa yang membuatnya gagu ?
Persoalan DBH tidak sepele yang dianggap berkaitan dengan kepentingan hajat hidup masyarakat.
Kata kunci, apabila para kepala desa bungkam dan membiarkan. Jika pada akhirnya berbuntut persoalan hukum, maka pembiaran itu bisa menjadi delik yang mengarah pada turut bersama sama melegalkan penyimpangan untuk kepentingan pihak tertentu secara pribadi maupun korporasi. (Rsd)