Isu Penjemputan Oknum Jaksa dan Pejabat Publik Purwakarta oleh Kejagung, Sinyal Krisis Integritas Penegakan Hukum

oleh -19 Dilihat

Garisjabar.com- Saling silang informasi yang beredar, terkait dugaan penjemputan seorang oknum jaksa yang memiliki kedudukan penting di Kejari Purwakarta dan tiga pejabat publik oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Yasin menyampaikan, tidak lagi dapat diposisikan sebagai isu lokal atau sekadar kesalahpahaman komunikasi, justru isu ini akan berubah menjadi sinyal krisis integritas penegakan hukum yang berdampak nasional.

Kata Agus Yasin, ketika aparat penegak hukum dan pejabat publik daerah disebut-sebut dijemput oleh institusi penegak hukum tertinggi, namun tidak diikuti penjelasan resmi yang tegas dan terbuka. Maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama individu, melainkan wibawa hukum negara.

Agus Yasin menyebutkan, dalam konteks negara hukum, diamnya institusi di tengah isu serius justru memperkuat kecurigaan publik. “Klarifikasi setengah-setengah, bantahan normatif, atau pengaburan istilah administratif tidak menyelesaikan persoalan, melainkan memperlebar jurang ketidakpercayaan,” kata Agus Yasin, saat dimintai tanggapan melalui seluler. Jumat (26/12/2025)

Publik berhak mengetahui, apakah terdapat proses hukum di tingkat Kejaksaan Agung yang melibatkan aparat penegak hukum dan pejabat publik Purwakarta?

Lalu, dalam perkara apa dan dalam kapasitas apa proses tersebut dilakukan. Dan mengapa isu ini dibiarkan berkembang tanpa penjelasan institusional yang tegas?

“Jika isu ini tidak benar, klarifikasi terbuka adalah kewajiban mutlak. Namun jika benar, maka publik berhak menilai bahwa persoalannya jauh lebih serius daripada pelanggaran etik biasa,” ujarnya.

Ancaman Sistemik terhadap Penegakan Hukum

Menurutnya, keterkaitan oknum jaksa dan pejabat publik daerah dalam isu ini, memunculkan dugaan kuat adanya persoalan struktural dalam penegakan hukum di daerah.

Hal ini berpotensi mencerminkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terorganisir, konflik kepentingan antara aparat penegak hukum dan penguasa daerah. Praktik pengondisian perkara dan kebijakan, hingga obstruction of justice yang menggerogoti prinsip keadilan.

“Jika dibiarkan, maka praktik semacam ini bukan hanya merusak Purwakarta, tetapi menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di daerah lain,” ucapnya.

Pintu Masuk Membongkar Masalah yang Lebih Besar

Isu ini harus dipahami sebagai pintu masuk (entrance), untuk membuka kemungkinan persoalan hukum yang lebih luas dan selama ini tersembunyi.

Lanjut Agus, dalam banyaknya kasus, pemeriksaan terhadap aparat dan pejabat hanyalah awal dari pengungkapan perkara-perkara yang sengaja diperlambat atau dihentikan. Jejak transaksi kekuasaan antara penegak hukum dan elit politik, dan pola pembiaran sistemik terhadap pelanggaran hukum.

Menutup isu ini di tahap awal, sama artinya dengan melanggengkan impunitas.

Sebagai institusi penegak hukum tertinggi, Kejaksaan Agung RI tidak boleh bersikap ambigu. Transparansi bukan ancaman, melainkan satu-satunya cara menyelamatkan kepercayaan publik.

Jika terdapat proses hukum, sampaikan secara proporsional. Jika tidak ada, bantah dengan tegas dan terbuka. Hingga membiarkan publik berspekulasi, hanya akan memperdalam krisis kepercayaan.

Agus Yasin mengatakan, atas nama kepentingan publik dan masa depan penegakan hukum, semestinya Kejaksaan Agung RI segera memberikan penjelasan resmi yang tegas dan akuntabel kepada publik.

Kejaksaan Tinggi Jawa Barat memastikan tidak ada konflik kepentingan, dan menjamin objektivitas penanganan perkara di Purwakarta. Dan Penerimaan Daerah tidak menutup mata, terhadap potensi penyimpangan hukum di daerah.

“Negara hukum tidak boleh berdiri di atas kebisuan, termasuk penegakan hukum di Purwakarta dengan segala polemik dan intriknya,” ungkap Agus Yasin.

“Jika penegakan hukum ingin tetap dipercaya, maka kebenaran harus dibuka, bukan dikelola dalam senyap,” (Rsd)