Garisjabar.com- Bupati Garut Dr. Ir. H. Abdusy Syakur Amin, M.Eng., IPU lagi-lagi dituding tidak mampu mengemban tugasnya. Jumat (28/11/2025).
Pasalnya, setiap pengaduan yang disampaikan secara resmi dinilai tidak pernah ada tanggapan serius, salah satunya pengaduan yang disampaikan oleh Gerbang Literasi Masyarakat Perjuangkan Keadilan (GLMPK) terkait adanya dugaan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
GLMPK menyampaikan pengaduan melalui surat tertanggal 27 Agustus 2025, pengaduan tersebut selain kepada Bupati Garut, juga disampaikan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang memiliki kewenangan melakukan penindakan terhadap pelanggaran hukum (Pelanggaran Perda) yang terjadi di Kabupaten Garut.
Menurutnya, GLMPK telah menyampaikan pengaduan resmi sejak 27 Agustus 2025, namun tidak pernah ada tanggapan dari Bupati Garut Abdusy Syakur Amin.
“Anehnya, Bupati selalu menggembor-gemborkan kepada satuan perangkat kerja daerah (SKPD) harus memberikan pelayanan yang baik, tapi Bupatinya sendiri mencontohkan tidak peduli dan tidak responsif,” kata Ketua GLMPK, Bakti Syafaat kepada media, Kamis (26/11/2025).
Adapun, ujar Bakti, yang menjadi objek pengaduan GLMPK, yaitu adanya alih fungsi lahan pertanian yang dibangun hotel disekitar Rancabango.
“Sudah jelas didepan mata dan lokasinya dekat Kantor Bupati Garut, tetapi Bupati tidak merespon dan menanggapi pengaduan masyarakat, apalagi kalau objek pengaduannya jauh?, atau karena yang diadukan adalah Perusahaan besar dan berduit, sehingga Pemda Garut dibawah kepemimpinan Bupati Abdusy Syakur Amin memilih untuk “tutup mata” terhadap setiap persoalan yang diduga melibatkan pihak-pihak yang berduit,” ujar Bakti.
Lalu, kata Bakti, kenapa Satpol PP tidak berani memasang garis pembatas aktivitas atau menyegelnya?, kalau hanya pembenaran tidak akan melakukan kegiatan, apakah Satpol PP bisa tahu keadaan yang sebenarnya?
“Kan tidak setiap menit Satpol PP mengawasi. Jadi harus disegel dan dihentikan lalu dilakukan pemeriksaan dan berkoordinasi dengan Kepolisian,” katanya.
Bakti menjelaskan, sebelumnya, GLMPK melakukan kajian dan penelitian hukum dengan metode normatif-empiris, dan ditemukan bahwa ada kawasan lahan pertanian basah, dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) juga lahan sawah dilindungi yang dilarang dialihfungsikan tetapi menjadi bangunan hotel.
Hal tersebut jelas dilarang dan diancam oleh Pasal 72 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU No. 41 Tahun 2009),” beber Bakti menjelaskan.
Bakti Syafaat mengapresiasi Satpol PP Kabupaten Garut yang merespon dengan surat yang diajukan GLMPK, melalui Surat Nomor 300.1/1439-Satpol PP/2025, perihal: Jawaban atas pembangunan CV. Grand Rancabango Hotel tertanggal 23 Oktober 2025. Hanya saja, surat tersebut tidak memiliki penjelasan yang utuh, hanya pemberitahuan saja.
“Padahal Satpol PP sesuai dengan kewenangannya seharusnya melakukan pemeriksaan kepada pengadu dan teradu sebagaimana diatur dalam Pasal 88A Perda Kabupaten Garut nomor 16 Tahun 2019 tentang RTRW, dimana Penegak Perda dan/atau Satpol PP berwenang melakukan pemeriksaan dan permintaan keterangan,” ungkapnya.
Untuk diketahui, kata Bakti, GLMPK selaku kelompok masyarakat mempedomani Pasal 93 ayat (5) huruf c Perda Kabupaten Garut nomor 16 Tahun 2019 tentang RTRW, pasal tersebut mengatur masyarakat dapat melaporkan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
“Tetapi setelah ada laporan atau pengaduan, Bupatinya diam, seolah menutup mata dan telinga, karena tidak ada ketegasan memerintahkan PPNS Satpol PP untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana diatur oleh Pasal 88A Perda Kabupaten Garut nomor 16 Tahun 2019 tentang RTRW,” tegasnya.
GLMPK menilai perbuatan tersebut merupakan Perbuatan tindak pidana yang termasuk kedalam delik formil, artinya setiap orang yang melakukan perbuatan dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dituntut tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatannya telah merugikan.
“Adapun rumusan delik dalam pelanggaran hukum ini Pelapor menilai termasuk Delik Formil,” ujarnya.
Menurut pendapat P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang juga mengatakan dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” (hal. 212) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Selain itu, Mahrus Ali dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana” (hal. 209) mendefinisikan juga delik formil sebagai perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya.
Selanjutnya alasan disebut termasuk delik formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu yaitu mengalih fungsikan ruang dan mengalih fungsikan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Mengutip pendapat Pompe yang dikutip Andi Sofyan dan Nur Azisa dalam bukunya Hukum Pidana (hal. 98), tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. (Asep Ahmad

