APH Harus Periksa Kabid Perencanaan Anggaran DPKAD Saat Itu

oleh -236 Dilihat

PURWAKARTA, garisjabar.com– Menurut Pengamat Kebijakan Publik Kabupaten Purwakarta Agus Yasin mencermati munculnya persoalan hutang yang harus dibayarkan Pemda ke desa-desa terkait persoalan Dana Bagi Hasil (DBH), secara logika tidak sesederhana yang dilontarkan Sekda ketika memberikan alasan.

“Betul itu hutang Pemda, kita harus dirunut dulu pangkal persoalannya berdasarkan pada (LHP) (BPK) dan (LRA) Tahun 2018, dari kewajiban membayar Dana Bagi Hasil (DBH) ke desa sebesar Rp. 47.253.370.478,00 hanya dianggarkan sebesar Rp. 11.977.699.055,00. Namun anggaran itu menjadi Rp. 0,- dalam APBD Perubahan tahun 2018 dan atau dihilangkan,”kata Agus. Senin (12/12/2022).

Menurutnya, jika hal tersebut alasannya sesuai kebijakan pimpinan serta rasionalisasi belanja berdasarkan realisasi pendapatan dan saldo kas daerah. Maka alasan itu menjadi tidak rasional apabila ditelaah secara akuntabilitas dan validitas.

Agus Yasin pun menyebutkan belum lama ini Sekda mengatakan, di youtube tersebut bahwa hutang DBH tahun 2016-2017 ke desa tinggal Rp. 19 miliar dan sisa tahun 2019 sebesar Rp. 250 juta. Namun, apakah pernyataan itu didukung dengan data yang otentik berupa bukti transfer pembayaran ke desa-desa ?.

“Andai itu hanya untuk sekedar alasan dan tidak ada bukti jelas yang sudah terbayarkan, maka patut diduga Sekda telah melakukan kebohongan publik dan patut dipertanyakan kredibilitasnya,”ungkap Agus Yasin.

Selain itu, ada pernyataan dari Kepala BKAD, bahwa isi APBD tahun 2023 sebenarnya bisa membayar hutang DBH ke desa-desa. Sementara, sebelumnya Sekda menyatakan APBD tahun 2023 belum bisa untuk membayar hutang tersebut.

“Ini tambah lucu dengan adanya saling silang pernyataan itu,”kata Agus.

Agus Yasin menyampaikan, kalau menyikapi pernyataan dari Kepala DPKAD secara riil memang bisa. Sehingga, bagaimana tidak dengan isi APBD tahun 2023 sebesar Rp 2,5 triliun sangat dimungkinkan. Namun tentunya ada hal-hal yang mendasar harus diungkap dulu sisi persoalannya, dan pembayaran hutang DBH itu sendiri secara logika tidak serta merta bisa langsung dimasukan.

“Tetapi harus ada pertanggung jawaban secara publis, dan juga penyelesaiannya berdasarkan kepatutan selaras ketentuan yang menjadi aturan terhadap persoalan hutang Pemda,”ujar dia.

Menurut Agus Yasin, mengingat DBH itu bersifat “Current Budget” dimana pembagiannya berdasarkan “By Origin”, sedangkan prinsif penyalurannya berdasarkan “Based on Actual Revenue”. Maksudnya adalah penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan sebagaimana ketentuan dalam UU RI No. 33 Tahun 2004.

Intinya, hutang DBH tahun 2016-2017 kemudian ditambah dengan tahun 2018 yang terakumulasi sebesar Rp. 71.700.460.780.00 sesuai LHP BPK tahun 2018. Adalah bukti dari ketidak cermatan Bidang Perencanaan Anggaran saat itu, sebagai akibat dari faktor-faktor tertentu dan bukan mustahil, patut diduga disebabkan oleh kebijakan pemilik kewenangan.

“Bisa juga disebabkan adanya interaksi yang salah antara struktur dan faktor-faktor lingkungan birokrasi, sehingga sarat dengan kesewenangan penguasa di atasnya,”pungkas Agus Yasin.

Selain itu juga perlu diingat, proses perencanaan anggaran disusun dan ditentukan berdasarkan pedoman yang menjadi acuan. Sementara realisasi anggaran mekanismenya tidak terlepas dari adanya bentuk administrasi terkontrol, “disposisi” dan “nota dinas” adalah sebagai pelaksanaan prinsif dari pengelolaan anggaran.

Sementara persoalan DBH semakin menarik lagi, ketika tiba-tiba Bupati mengungkapkan persoalan hutang DBH ke desa-desa di masa pemerintahan sebelumnya. Kemudian direspon oleh pihak yang merasa tersentil dari ungkapan Bupati tersebut, yang seterusnya ada pertemuan yang melibatkan Wakil Bupati, Ketua DPRD (Ketua Babggar DPRD) dan Sekda serta (Ketua TAPD) dusebuah Cafe.

“Ada yang aneh, apabila tidak ada hal-hal yang patut diduga bakal menyeretnya. Kenapa seperti “panik” menghadapi persoalan ini ?,”kata Agus.

Dan kenapa harus memanggil mereka ?

Kata Agus, seharusnya di jelaskan saja ke publik langsung secara faktual, atau somasi saja atas ungkapan dan tuduhan yang dianggap menyasar dirinya. Selain itu, semakin tambah mencurigakan, manakala persoalan DBH itu direspon dengan melakukan pertemuan-pertemuan khusus dengan para unsur pejabat yang memiliki relevansi dengan persoalan dan upaya selanjutnya.

“Apapun yang dipertontonkan publik sudah bisa menyerap, bahwa itu sekedar untuk mencari pembenaran di tengah kesempatan,”ucap Agus Yasin. (Rsd)